Kumpulan Picrew OC: The Almazinskis in Hera-nim’s Collection

 

Kumpulan Picrew OC: 
The Almazinskis 
in Hera-nim’s Collection

1. Cyzarine

Cyzarine Svetoslavovna Almazinskaya in The Lady of Hera artstyle!!

https://picrew.me/share?cd=bgudGSXw3k

Temanya berlian hitam dan emas hohoho


2. Vasily


Nggak terlalu mirip desain oriku sih, but … VASILY SVETOSLAVOVICH ALMAZINSKI!! in The Gentleman of Hera

https://picrew.me/image_maker/1041191/complete?cd=AiFF2B37xB

… anggap aja ini gambaran kalau Vasily lagi mood potong rambut … ahahah.

Couldn’t find the blue eye shadow, so I did my best … bro be looking tired af lol


3. Erik

Erik Svetoslavovich Almazinski, kakak mereka yang berkepribadian super membosankan. 

Lempeng dan 'lemah', menurut Cyzarine — tetapi tidak terlalu bodoh (seperti Vasily). Cocok untuk menjadi pion Cyzarine agar tetap bisa mengontrol Almazinski sepenuhnya, meski ia 'jauh.'

 


https://picrew.me/image_maker/1041191/complete?cd=ygUV4IlUXw

Ia memang sedari kecil berada di sekitar Svetoslav karena pelatihannya sebagai penerus keluarga, tetapi secara pribadi tak dekat dengan orang itu. Berbeda dengan Vasily, yang dari dulu mengidolakan sang Ayah terang-terangan. Maka, gayanya pun cukup beda dengan Svetoslav.


4. Loralei



https://picrew.me/image_maker/227881/complete?cd=qt4OvI72Sp


(Almarhumah) Mamanya Cyzarine! :)


5. Madam Katina

https://picrew.me/image_maker/227881/complete?cd=x7mCPUnhpO

Share:

3 Jam Pelajaran Hidup / 3 Hours of Life Lesson

 3 Jam Pelajaran Hidup

      Sejenak, angin kencang menerpa. Begitu dahsyatnya angin bertiup, hingga menciptakan bunyi-bunyi mirip siulan. Angin yang sedemikian kencangnya itu bahkan menggoyangkan pepohonan rindang yang tumbuh melingkar di sekitar sebuah bangunan. Sang angin menusuk tanpa mengenal ampun, seolah ingin mendepak keberadaan seorang pemuda yang tengah mengagumi keelokan mahakarya arsitektur di hadapannya.

Mahakarya tersebut bernama Amphitheaterum Flavium atau Koloseum, sebuah bangunan amfiteater megah peninggalan Kekaisaran Romawi. Letaknya di pusat kota Roma — ibukota Italia. Bangunan ini merupakan salah satu dari Enam Puluh Sembilan Keajaiban Dunia Pertengahan yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari televisi ataupun ponsel semata. Kendati masa lalu kelamnya yang hingga dijuluki Kuil Kematian itu, kini Koloseum justru menjadi ikon pariwisata kebanggaan Italia.


Koloseum memiliki bentuk oval, dengan lapisan tembok terluar yang kini tampak tinggal setengahnya. Hal tersebut membuat bangunan besar itu seperti ‘tercuil’. Kondisi unik itulah yang justru menjadi ciri khas yang melekat pada nama Koloseum.

Namun, sepertinya wujud Koloseum yang disaksikannya saat ini agak berbeda ….?

“Agak lain, ya?” gumamnya.

Pemuda itu terlebih dahulu membenahi rambut cokelat kemerah-merahannya. Sambil menyisir rambut dengan tangan, dia mengeluh, “Anginnya lagi ngamuk apa, ya? Aku, Rais sang juara, sampai jadi korban begini. Cih!”


Eh …? Tunggu dulu. Kalau dipikir-pikir, aneh juga. Dari awal, bagaimana ceritanya ia bisa di sini?

Si pemuda berambut cokelat kemerahan itu mengernyitkan dahi, lalu menoleh ke kanan-kiri. 

Namun, Rais justru dibuat terperangah menyaksikan penampilan orang-orang di sekitarnya. Barang seorang pun dari mereka semua, tak ada yang mengenakan baju berjahit. Semua hanya memakai sehelai kain yang dililitkan ke sekujur tubuh. Persis seperti yang ada di patung, lukisan, bahkan ilustrasi literatur peninggalan peradaban Romawi kuno.

Rasanya seperti terbawa kembali ke masa-masa awal masehi.

Di mana mesin penjahit paling sederhana saja masih belum tercipta ….

Rais membelalak, mendadak menyadari sesuatu. Hah! Kok aku bisa tahu, sih?! Aku bukannya retrophile yang penggila barang-barang antik itu, aku hanya suka penasaran saja! Hanya penasaran …, batinnya.

“Gusti, tunggu! Yang lebih aneh lagi bukan itu, ‘kan!” celetuk Rais. “Isekai, time travel ... beginikah rasanya?”

Woah. Apakah aku akhirnya jadi cowok cool anime?” monolog Rais, yang entah mengapa jadi semakin ngawur.

Mendadak, terdengar tiupan terompet yang menggelegar, yang kemudian diikuti auman singa. Seketika segerombolan manusia menerjang si pemuda malang itu. Si pemuda malang, alias Rais, pun ikut terseret arus gelombang itu. Gelombang manusia tersebut mengalir jauh, membawanya ke dalam bangunan Koloseum.

Rasanya, baru sejenak saja Rais memejamkan mata. Akan tetapi saat membuka mata, pemandangan yang menyapa netranya sudah berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi ratusan pintu di dinding, melainkan tribune bertingkat-tingkat yang terbuat dari batu kapur travertine.

Kalau mengesampingkan untuk apa bangunan ini digunakan, Koloseum memanglah karya terhebat di sepanjang sejarah arsitektur Romawi. Sebab bentuk dan strukturnya, gelanggang terbuka satu itu disebut-sebut sebagai stadium yang paling agung dan spektakuler. Lalu, jika melongok ke bawah, ada arena yang tertutupi oleh pasir di bagian dasarnya. Pasir tersebut bermanfaat untuk meresap tiap tetesan darah yang mengucur dalam rangkaian hiburan di Koloseum.

Hanya berbekal pengetahuan minim dari unsur fiksi sejarah di light novel, manhwa, manga yang dibacanya, secara ajaib Rais cepat menyesuaikan diri dengan situasi di sekitarnya saat ini. Bahkan mungkin, bisa dikatakan sang pemuda beradaptasi sedikit terlalu cepat. Sampai-sampai, jika dipikir-pikir justru menjadi seram.

Dengan sedikit kosakata bahasa Italia yang diketahuinya, Rais bertanya kepada lelaki asing di sampingnya, “Salve, Signore. Kalau boleh tahu, sekarang ini tahun berapa, sih?” 

Namun ia lupa satu hal ....

Quid narras? Discedite!” hardik lelaki asing itu.

Meski benar Kekaisaran Romawi berdiri di atas wilayah yang menjadi teritori Italia di masa modern, akan tetapi tak ada jaminan lelaki itu memahami ucapannya. Bagaimana tidak? Bahasa yang dituturkan bangsa Romawi kuno, ‘kan, bukan bahasa Italia!


Sejujurnya, Rais bahkan tak menangkap sepatah kata pun yang diucapkan laki-laki di sampingnya itu. Akan tetapi, kurang lebih ia mengerti maksud perkataannya, jika fokus pada ekspresi.

Orang ini sedang memakinya!

“Sudahlah, Felix~ Jangan terlalu kasar pada orang baru. Lagipula, tak ada yang lebih menyukai munera daripada kau, ‘kan?”

Tace, Fatuus!” umpat si pria yang ditanyai Rais.

Dua pria mencurigakan ini … karena nama masing-masing dari mereka belum diketahui pastinya, mari kita sebut saja mereka dengan lelaki asing #1 dan #2.

Penuturan si lelaki asing #1 tak ada sama sekali yang bisa dipahaminya. Akan tetapi, tidak begitu dengan lelaki asing #2. Anehnya, Rais dapat memahami omongan lelaki asing #2 dengan cukup lancar.

Lagi-lagi berbeda dengan si #1 yang tampak hanya bisa memaki orang, lelaki asing #2 masih sempat-sempatnya mengajak untuk mencari tempat duduk terlebih dulu. Bertambahlah satu poin respek Rais terhadap dia.

Ketika mereka telah mendapat tempat duduk yang strategis dan nyaman, Rais bertanya, “Hey, memangnya apa yang mau kita tonton?”

“Yah, banyak,” jawab lelaki asing #2. “karena sepertinya Yang Mulia Kaisar sedang sangat senang, diadakan sederet pertunjukan besar di gelanggang ini. Tapi karena ini masih permulaan, kemungkinan … sebagai pembukaan, kita akan menyaksikan venetaiones — pertarungan antara binatang, pertarungan antara tahanan dan binatang, lalu kesukaan Felix, munera — pertarungan antara gladiator.”

“Hari berikutnya mungkin ada naumachiae,” imbuh lelaki asing #1.

Rais spontan mengulangi kata terakhir lelaki asing #1. “Ne … neu … nemaki apa?”

Naumachiae! Kesukaanku!” sambar lelaki asing #2.

“Apa itu?” heran Rais. Nama asing yang belum pernah didengarnya! Pengucapannya pun lebih rumit dari kata-kata lain.

Lelaki asing #2 kembali membalas pertanyaan Rais, “Yah, semacam tiruan perang laut.”

Tiba-tiba Rais jadi terpikirkan sesuatu.

‘Yang Mulia Kaisar sedang sangat senang’ dan kesenangan untuk membuat ricuh di mana-mana, serta hidup yang seperti penuh dengan foya-foya ... membuat nama Nero lewat dalam benaknya.

Nero, kaisar ke-4 Romawi yang terkenal dengan tindakannya membakar seluruh Roma untuk membangun sebuah istana emas. Istana super besar yang diperuntukkan dirinya sendiri. Istana itu sampai sekarang dikenal sebagai Domus Aurea.

Kalau memang benar Nero … hah! Aku kenal betul dengan sifatnya, gara-gara rajin membaca webnovel seperti The King of Tomb Raider, batin Rais.

Suara gemelatuk gigi lantas terdengar. “Ini semua perbuatan Nero?” geram Rais. 

Kedua pria asing itu saling bertatapan, lantas tertawa mencemooh atas ucapan Rais satu itu. 

Masih dengan tawa sinisnya yang tersisa, lelaki asing #2 menjawab, “Nero siapa …? Dia sudah lama mati, membusuk di dalam liang lahatnya yang bau itu! Hahaha!”

Namun, hal itu tak sampai diambil hati oleh Rais. Ia hanya mengangguk-angguk. Benar juga. Bodohnya aku. Aku lupa kalau Koloseum dibangun jauh setelah kematian Nero, batinnya.

 “Hey, kalau kau memang betul tak tahu ... kaisar Romawi saat ini adalah Yang Mulia Kaisar Agung Commodus!”

Rais kembali mengernyit mendengar nama kaisar yang katanya sekarang tengah menjabat di Takhta Romawi. Kaisar-kaisar Romawi lain memang tak seterkenal Nero ataupun Julius Caesar. Tapi sosok ini terlalu asing buat orang awam sepertiku. Siapa dia? batinnya.

Melihat ekspresi Rais, emosi lelaki asing #1 ikut terpantik. “Kalau tentang Koloseun kau tidak tahu, aku masih wajar! Memang ada orang seperti itu ... tapi ini sudah di atas ambang wajar! Kau bahkan tak tahu nama kaisarmu sendiri! Selama ini kau tinggal di mana, sih? Goa? Hah?”

“Kalau iya?” respons Rais.

Si lelaki asing #1 dibuat tak bisa berkata-kata olehnya. Sehingga pria itu hanya bisa mengatakan, “Hah!”

Sementara itu, lelaki asing #2 tertawa mendapati perdebatan kecil antara Rais dan lelaki asing #1 tadi. Kemudian ia menjulurkan tangan dan berujar, “Hey, omong-omong namaku Albus. Kau?”

“Namaku …? Oh, Rais Anggabaya.”

Lelaki asing– tidak, Albus menganggukkan kepala. “Baiklah, Rais Anggabaya. Aku pamit dulu sebentar, ya,” ujarnya.

Selang beberapa waktu kemudian, Albus kembali. Namun, kini ia datang bersama prajurit berzirah di belakangnya.

“Rais Anggabaya, nama dan pakaianmu aneh! Gerak-gerikmu pun begitu! Kau bahkan tak tahu sekarang ini tahun berapa dan keagungan-keagungan Koloseum lainnya! Mengaku saja, kau mata-mata yang dikirim Kekaisaran Partia, ‘kan! Kau itu musuh negara yang harus dibasmi!” tuduh Albus, sambil menunjuk-nunjuk Rais. Suara Albus yang keras itu menarik perhatian seluruh amfiteater. Desas-desus langsung terdengar di sana-sini.

Apa-apaan?

Seusai Albus berkata demikian, Rais merasakan belakang lehernya seperti dipukul oleh sesuatu yang keras. Pandangannya mulai mengabur. “Albus, hey, kawan baruku ... Kekaisaran Partia? Mata-mata? Musuh negara? Apa maksudmu ...,” racau Rais, seraya merintih kesakitan.

Sekilas Rais mendengar kata “maaf”, entah dari mana asalnya. Akan tetapi, suara itu sama sekali tidak mirip dengan milik Albus. Namun sayang, kepalanya terlalu pening untuk memikirkannya.

Setelahnya, Rais tak lagi mengingat apa-apa.


***


Ketika akhirnya siuman, indra penciumannya disambut dengan aroma tak sedap. Menyengat sekali bau itu. 

Akan tetapi, Rais memilih untuk mengabaikan itu, lalu meraba belakang kepalanya. Rasa sakit itu masih belum juga hilang. Tak salah lagi, memang benar tadi ia sempat dipukul. Kemudian, pastilah ia tak sadarkan diri setelah menerima pukulan itu.

Dia rasa, ia tahu sedang di mana dirinya berada sekarang. Jeruji besi di bawah tanah Koloseum, tempat para tahanan dan hewan-hewan menunggu kematian yang pasti.

Samar-samar terlihat sosok pria yang berdiri di balik jeruji besi. Wajahnya tak tampak jelas, akibat kurangnya pencahayaan di sana. Sepertinya ia seorang sipir, karena tak lama setelahnya terdengar suara gemerincing kunci.

Sosok itu masuk ke dalam sel Rais, lalu menyeretnya hingga ke tempat bersiap para pemain. 

“Acungkan saja jari telunjukmu, jika kau merasa terlalu lemah dan sudah tak kuat lagi,” tutur sang sipir. “sisanya … serahkan saja kepada penonton. Hahaha!”

Terompet kembali berbunyi. Kali ini, terompet itu disambut sorak sorai antusias para penonton di tribune.

Rais melirik ke tangan kanannya. Di sana, tergenggam sebilah pedang yang dibekali panitia duel. Zirah pun juga sudah lengkap terpasang di badannya. Lantas ia menghela napas berat. 

“Baiklah! Jika aku percaya pada kemampuanku, maka pastilah aku bisa!” serunya, sebagai penyemangat diri.

Pemuda itu pun melangkahkan diri ke arena gladiator Koloseum dengan penuh kepercayaan diri.

Di sana, sudah terdapat seorang gladiator dalam mode bertahan. Orang itu sepertinya sudah siap sekali untuk bertarung.

Rais menggenggam erat pedang di kanannya. Aku sudah berkali-kali memegang pedang seperti ini di game VR. Semoga saja aku bisa, begitu pikirnya.

Setelah memantapkan hati, ia pun berlari sekuat tenaga ke arah gladiator itu. Diangkatnya pedang di tangan, lalu diayunkannya kepada sang lawan.

Cara menyerang yang sembrono dan tanpa pikir panjang itu justru membuat Rais menggali kuburnya sendiri. Baru sejenak sejak duel itu berlangsung, dirinya sudah tumbang terlebih dahulu.

Para penonton langsung berseru riuh. “Habet!” seru mereka, sambil menunjuk-nunjuk ke arah dua gladiator di arena.

Oh! Ini saatnya! pikir Rais. Ia menengadahkan kepalanya, dengan mata berbinar-binar.

“Secepat itu dia memohon grasi ….”

“Bukankah pertarungan ini terlalu cepat?”

“Kurang seru!”

Begitu Rais mengacungkan jarinya, seisi tribune Koloseum segera menjadi ricuh. Beragam pendapat diaturkan dalam diskusi antar-penonton yang mendadak itu. Ada yang pro, karena merasa kasihan melihat Rais babak belur dan hampir kalah telak dari lawan. Akan tetapi, tak sedikit pula yang kontra, dengan alasan kurangnya kepuasan terhadap hiburan mereka.

Hingga beberapa waktu berlalu, mereka telah menyepakati sebuah keputusan tanpa Rais sadari. Yaitu untuk melenyapkan alur pertunjukan membosankan yang membuat mereka kesal itu. Tak lain dan tak bukan, dengan membiarkan penghibur malang itu jatuh ke dalam jurang kematian.

Sebagai tanggapannya terhadap reaksi para pemirsa, gladiator di hadapannya ini tersenyum lebar. Senyumannya terlihat begitu jahat dan kejam di penglihatan Rais, yang hampir sampai di ambang kesadarannya. Kedua matanya memicing, memandang Rais dengan tatapan merendahkan. Sampai-sampai, Rais merasakan seluruh bulu kuduknya berdiri. Hanya dengan adu tatap melawan mata itu.

Bersamaan dengan itu, sang gladiator kembali menarik pedangnya, yang kemudian diacungkan tepat pada tempat jakun Rais berada. Niat membunuh yang dirasakan Rais dari lawan tarungnya ini amat besar. Sebegitu besarnya, sampai-sampai mustahil jika tak menyadari.

Mampus aku! pekik Rais dalam hati. Ia mengira kalau mulai sekarang, dirinya sudah tak lagi bisa berkutik. Tidak salah jika pemuda ini berkata demikian. Bagaimana tidak? Pedangnya telah terjatuh di tanah!


Lantas bagaimana kalau ia membungkuk sebentar untuk memungut pedang itu, kemudian melawan, bertahan, atau mungkin menghindar … jika ada serangan mendadak?

Bah! Jangankan menangkis, menghindar saja tak mungkin! Sebab, jika rencana itu dilaksanakan, akan banyak celah yang muncul. Untuk melindungi celah itu, tentu membutuhkan sebuah tameng. Sementara tamengnya tadi malah sudah terpelanting jauh, entah ke mana perginya.


Berbeda jauh dengan lawan di hadapannya yang masih berpenampilan rapi. Lengkap dengan zirah, tameng, dan sebilah pedang yang tajam. Air mukanya memancarkan keyakinan tingkat tinggi. Pastilah ia percaya diri sekali dengan kemampuan memukul-bokong-lawannya itu.


Imbecile! Kau itu terlalu banyak berpikir!” ejek si gladiator lawan. Ia telah sangat siap mengayunkan pedangnya untuk menggorok leher Rais. Tak ada ragu sama sekali yang terpancar dari sorot matanya.

Bak petir di siang bolong, mendadak ada suara menggelegar yang mengintervensi. “Prohibere! Aku melarang kelanjutan pertandingan ini!” 

Seluruh hadirin yang ada di Koloseum hari itu dengan kompaknya menoleh ke asal suara. Podium utama bagian utara. Tempat khusus keluarga kaisar yang menyuguhkan pemandangan yang terbaik untuk seluruh kegiatan di arena. Usai berteriak guna menghentikan pertandingan, sosok itu melompat terjun ke arena.

Rais mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menguceknya beberapa kali. Ia agak syok dengan sosok di hadapannya. Penampilan, sikap, bahkan sampai gerak-geriknya pun mirip dengan Nero si karakter boss penjahat dalam game yang dikenal Rais. Terlalu mirip! 


Seolah-olah, yang berdiri di depannya ini adalah ‘Nero sang Boss Level 99’ itu sendiri. 


Tubuh Rais pun gemetar. Tangannya yang semula melemas karena hampir mati, kini digunakan membekap mulutnya sendiri. Namun, hal itu percuma saja.


“Hah—haha. Hehehehe.”


Dia terkikik.


Setelah itu, ia membungkukkan badan. Tangannya dijulurkan untuk meraih pedangnya yang tergeletak tak jauh di tanah.


Orang di hadapannya ini mengawasi betul-betul tiap gerak-gerik Rais. Meski begitu, dia tak acuh dengan itu. “Sekarang, lawanmu adalah aku,” ungkap sosok itu. “dan jika kau berlutut meminta ampun padaku, maka akan kubebaskan kau. Perang dengan bangsa Partia pun akan lekas kuhentikan, seperti pertarungan ini. Bagaimana?”


Daripada menjawab tawaran tersebut dengan baik-baik, Rais justru terkekeh. “Sadarlah, Commodus putra Marcus Aurelius! Segeralah kembali ke jalan yang benar, jikalau kau tak mau bernasib sama dengan Nero si megalomania hedonis terkutuk itu!” pekiknya.

Mendengar apa yang dikatakan Rais kepadanya, Commodus sang Caesar jadi naik pitam. Commodus yang tak mau disebut bernasib sama dengan leluhurnya pun akhirnya menggila. Tanpa berpikir dua kali, dirinya mencekik Rais. Tidak ada keraguan maupun keseganan sama sekali yang terselip pada rautnya.

Begitu kencang cengkeraman Commodus, hingga dengan cepatnya wajah Rais memerah karena kehabisan napas. Keringat dingin mengalir ke sekujur tubuh. Ketakutan akan kematian yang baru saja terlupa, kembali menghampirinya.

Meski begitu, tak gentar Rais dibuatnya. Tak serampangan seperti tadi, kali ini ayunan pedangnya mengenai tepat di leher target.

***

“Bro! Kau nggak apa? Kau bangun juga akhirnya!”

“Luar biasa, Gan! Lo tidur 3 jam pelajaran, lho! Hahaha!”

“Berani juga, yah, kau. Tidur di jam matematikanya Madam Ira.”

“Rais akhirnya bangun juga ... baru saja mau kami bawa ke UKS!”

Rais mengerjapkan mata, lalu menoleh ke sekitar. Napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya masih bergetar hebat karena terbayang peristiwa barusan.

Segelas air putih disodorkan kepadanya. Dan saat Rais mendongak buat melihat siapa pemberinya, senyum sinisnya menyapa. “Sepertinya tidurmu lelap, ya, Nak? Mimpi apa kamu?”

Rais meneguk ludah mendengar ucapan itu. Mampus aku! rutuknya dalam hati.


Share:

Gugusan Bintang Fajar「Sternhaufen der Morgendämmerung」

Gugusan Bintang Fajar
「Sternhaufen der Morgendämmerung」


 Gugusan Bintang Fajar, bisa dibilang merupakan sebuah trademark yang dibuat oleh Lucifer(oc saya!!!)

Kalau dalam bentuk nama belakang masing-masing, akan berubah menjadi:

Sternhaufen, Sterrenbeelden, Taranggana, Ammassostellare, Xing,

Contoh penerapannya sebagai berikut:

  • Schlussmelodie Sternhaufen
  • Sastranirvana Taranggana
  • Xing Wuzhan 星武戰

Berdasarkan ilmu cocoklogi—khas Indonesia—dari Google … ehm!

星/xing, artinya Bintang, 武/wu artinya Bela Diri, 戰/zhan artinya Perang. Kalau 星武戰 digabung jadi satu … jadilah Star Wars🤣

Share: