Pages - Menu

Pages

MENU

Tentang Kami

Resensi Film The Woman King (2022): Cermin Persatuan dalam Keberagaman Golongan

Resensi Film The Woman King (2022): Cermin Persatuan dalam Keberagaman Golongan





Identitas Karya

Judul Film: The Woman King

Genre: Laga, Drama

Sutradara: Gina Prince-Bythewood

Produser: Cathy Schulman, Viola Davis, Julius Tennon, Maria Bello

Penulis: Maria Bello, Dana Stevens

Sinematografis: Polly Morgan

Pemeran: Viola Davis, Thuso Mbedu, Lashana Lynch, Sheila Atim, Hero Fiennes Tiffin, John Boyega

Perusahaan produksi: TriStar Pictures, Entertainment One, TSG Entertainment II, JuVee Productions, Welle Entertainment

Distributor: Sony Pictures Releasing

Tanggal rilis: 9 September 2022 (TIFF); 16 September 2022 (Amerika Serikat); 5 Oktober 2022 (Indonesia); 

Durasi: 135 menit (2 jam 15 menit)


The Woman King (2022) adalah sebuah film yang disutradarai oleh Gina Prince-Bythewood dan ditulis oleh Dana Stevens dan Maria Bello. Film ini menyabet penghargaan film terbaik utama versi African American Film Critics Association (AAFCA) dan mendapat posisi keempat di 10 Film Terbaik Tahun Ini versi American Film Institute (AFI). Film ini berlatarkan pada tahun 1820an di benua Afrika. Lebih tepatnya Kerajaan Dahomey, kerajaan yang pernah berdiri sungguhan di sana, dan kini telah menjadi negara Benin.


Sinopsis

Film ini mengisahkan tentang Agojie, pasukan prajurit wanita dari Kerajaan Dahomey yang melawan perbudakan bangsa. Agojie, prajurit-prajurit terhormat yang kekuatannya ditakuti seluruh Afrika. Pasukan legendaris itu berketuakan Nanisca, sang Miganon.  

Nawi, tokoh utama film ini, adalah seorang gadis yang ulet dan keras kepala. Sedari kecil, ia telah berkeinginan menjadi seorang personel Agojie. Begitu ingin dirinya menjadi salah satu wanita yang berdiri tangguh di garis terdepan Dahomey. Akan tetapi, ekspektasi memang tak seindah kenyataan. 

Ketika Nawi pulang ke rumah, ia mendapati dirinya sendiri akan dijodohkan dengan sesosok saudagar kaya oleh orang tuanya. Tentu ia menolak keras rencana mereka, yang lalu membuatnya dihadiahi bekas cap tangan di pipinya. Karena sikap penolakannya, sang Ayah menjadi murka dan menyeret Nawi ke istana Kerajaan Dahomey. "Kalau begitu, pergilah sana ke medan perang. Kau akan tahu, apa sebenarnya arti penderitaan itu," begitu ujar sang Ayah.

Di sana, Nawi mendapatkan pelatihan militer yang alot, sebagaimana para calon personel Agojie lainnya. Sosok gadis kepala batu itu lama-kelamaan mengerti, apa arti sesungguhnya luka, serta apa pentingnya mematuhi aturan. Di lingkungan prajurit wanita tersebut, Nawi bahkan mendapatkan sobat-sobat karibnya. Termasuk Izogie, salah satu veteran Agojie, yang meski jahil, tetapi terus mendukung perkembangan Nawi.

Sementara itu, di luar sana ada Oba Ade dan para prajurit Oyo-nya yang berkeliaran. Kekaisaran Oyo adalah sebuah negara besar yang menjadi lawan utama Dahomey, dengan pihak mereka yang terus meminta upeti berjumlah tak masuk akal jika tidak diberikan budak oleh Kerajaan Dahomey.

Kepala negara Kerajaan Dahomey, Raja Ghezo, baru-baru ini berpikir untuk memutus lingkaran setan perbudakan itu, kendati permintaan budak dari Portugis yang terus membuncah. Di tengah proses pelepasan Dahomey dari jeratan perbudakan, Oyo masih terus menagih upeti budak kepada Dahomey. Mereka meminta 40 budak wanita-wanita Agojie, yang tetapi ditawar menjadi 20 oleh sang Raja Dahomey. Tentu saja, mereka dibawa ke sana dengan berbekal strategi penghancuran pelabuhan bisnis budak milik Oyo.

Santo Ferreira, salah seorang perwakilan Portugis untuk bisnis perbudakan bangsa Afrika, panik kocar-kacir saat kerusuhan mulai terjadi. Ia begitu sibuk dengan usahanya memboyong budak-budak Afrika untuk berlayar balik ke Portugis. Sampai-sampai tak sadar dirinya telah dikhianati mantan rekannya, Malik, yang pada akhirnya memihak kepada Dahomey.

Perang semalam itu ditutup oleh aksi mendebarkan Nanisca yang akhirinya berhasil membalaskan dendam pribadinya kepada Oba Ade. Dan saat mereka kembali ke Dahomey, para Agojie itu disambut oleh sorak sorai pesta kemenangan serta penobatan Nanisca sebagai sang Raja Wanita.


Evaluasi

Kelebihan

Lewat adegan-adegan yang menampilkan hubungan antara sesama Agojie, kita bisa belajar apa arti dari kesetiakawanan. Kisah mereka benar-benar membuat emosi saya berjumpalitan.

Menurut saya sendiri, adegan paling berkesan di film ini adalah momen di mana Nawi dan Izogie satu frame, bahkan saat mereka sekadar bercakap-cakap. Chemistrynya itu loh, dapet banget! Saya suka melihat gelagat tokoh Izogie yang seperti seorang Kakak bagi Nawi.

Adapun dialog favorit saya di film ini adalah, sebagaimana mengutip dari sang Raja Dahomey, Ghezo, “Bangsa Eropa dan Amerika telah menunjukkan, jika Anda ingin merantai orang, pertama-tama seseorang harus meyakinkan mereka bahwa mereka ditakdirkan untuk diikat. Kita pernah bergabung dengan mereka untuk menjadi penindas bangsa kita sendiri. Namun, kini tidak lagi. Tidak lagi. Kita adalah pejuang! Dan ada kekuatan dalam pikiran kita, dalam kesatuan kita, dalam budaya kita. Jika kita memahami kekuatan itu, kita tidak akan terbatas. Rakyatku, ini adalah visi yang akan Aku pimpin. Ini adalah visi yang kita miliki bersama.”

Dan dari karakter Nanisca, kita bisa belajar tentang kepemimpinan, toleransi, dan rendah hati. Meskipun ada bawahannya yang berasal dari negeri-negeri Afrika lain, ia menganggap mereka semua sama. Tidak ada yang lebih rendah, maupun lebih tinggi; semuanya sama.

Pada akhirnya, ini semua berujung ke tentang bagaimana kita saling menerima satu sama lain.


Kekurangan

Sementara itu, kekurangan dari film The Woman King (2022) ini adalah adanya beberapa plot hole dan ending yang menggantung. Malik, si blasteran Portugis-Dahomey, ikut andil cukup besar dalam peperangan satu malam itu. Dia ikut membabakbelur dan melayarkan Santo Ferreira bersama para budak Afrika. Akan tetapi, ke manakah ia pergi setelahnya? Setelah adegan itu, tetiba langsung loncat ke adegan penobatan Nanisca. Tak ada Malik di sana! 

Apakah ia lantas menjadi warga Dahomey? Ataukah dia ikut pulang ke Portugis setelah fajar menyingsing? Ataukah dia ikut dengan para bule pengelola bisnis perbudakan lain? Kemudian, ke manakah para pedagang budak dari Eropa itu pergi? Apakah mereka berhasil kabur ke negara asal? Ataukah mereka terhangus bersama kejayaan bisnis mereka? Ataukah justru mereka bersembunyi di suatu tempat di Afrika? Hal-hal tersebut masih menjadi misteri di benak saya.

Meskipun tidak akurat secara historis, tak menjadikan film ini film yang jelek. Jika mengesampingkan fakta dalam sejarah, film ini benar-benar dikemas secara apik, menurut saya. Akting para pemain, adegan aksi, dan sinematografinya yang sangat fantastis. Apalagi adegan-adegan aksinya yang dikoreografi dengan begitu baik, sehingga tak terlihat kaku sama sekali. Secara keseluruhan, film ini benar-benar menarik ditonton. Sungguh, tidak membuang waktu kalian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar