Guruku Pahlawanku

 Guruku Pahlawanku


  Aku ingin bercerita tentang seseorang yang aku kagumi, yang aku anggap sebagai pahlawanku.

 Namanya Adriyani Setyaningsih, atau yang kerap kali disapa dengan ‘Bu Ria’ adalah seorang guru senior di sekolahku dulu. Beliau telah mengajar selama 15 tahun di sana. 

 Meskipun terkenal dengan julukan ‘guru galak’, beliau menghiraukannya dan tetap mengajar dengan caranya tersendiri.

 Ku akui beliau memang orang yang disiplin. Baik dalam mengajar maupun dalam kehidupan sehari-harinya.

 Dan dahulu, aku merupakan anak yang sangat payah dalam pelajaran matematika. Aku benci segala hal yang berkaitan dengan matematika. Namun Bu Ria tak pernah menyerah untuk terus mengajariku, setidaknya sampai kemampuan berhitungku sudah lebih membaik daripada sebelumnya.

 Caranya memotivasiku untuk belajar matematika cukup unik dan beragam.

 Pernah suatu saat aku sudah berada di ambang menyerah mempelajarinya, karena aku menganggap pelajaran

 tersebut benar-benar sulit dan aku tak mampu menguasainya barang sedikit pun. Di sanalah Bu Ria berada, mendampingiku dan mengatakan akan memberi kursus gratis untukku. Dalam kursus tersebut, beliau mengajarkan beberapa rumus, juga trik cepat untuk menyelesaikan soal matematika yang beliau berikan setiap pertemuannya.

 Aku benar-benar tak menyangka kalau Bu Ria sebaik itu. Beliau bersedia meluangkan waktunya hanya untuk mengajariku dan teman-teman yang sepertiku, payah dalam pelajaran matematika. 

 Ketika kami sudah menguasai beberapa rumus yang diberikan oleh Bu Ria, beliau dengan senang hati memberi kami beberapa lembar uang sebagai penyemangat kami agar lebih giat belajar. Sejak itu, Bu Ria selalu memberikan uang kepada anak yang sudah menguasai pelajaran tertentu.

 Itulah beberapa hal yang kuingat dari beliau.

 Aku dan teman-temanku telah kehilangan kontak dengan Bu Ria. Ketika kami mengunjungi sekolah lama kami, katanya Bu Ria sudah lama pensiun. 

 Namun, baru-baru ini aku mendengar sebuah kabar yang membuat hatiku hancur. 

 Waktu itu aku sedang duduk-duduk bersama Ajeng, temanku, di bawah sebuah pohon beringin nan rindang sembari meminum es dawet.

 “Sa, kamu mau dengar kabar yang lagi heboh, enggak?”

 Aku menoleh kepada Ajeng, lalu menaikkan satu alisku. Artinya, aku ingin mendengar kelanjutan ucapan Ajeng tadi. “Memangnya ada apa?” tanyaku.

 Ajeng mengambil napas dalam-dalam, barulah kemudian berkata, “Katanya Bu Ria sudah wafat sejak tahun lalu, Sa.” 

 Mataku terbelalak mendengarnya. Bingung hendak bereaksi bagaimana, terkejut atau sedih terlebih dahulu.

 Bu Ria, sosok yang aku anggap pahlawanku, telah gugur dalam perjuangannya.

 Andaikan sebelumnya aku dapat dipertemukan dengan beliau, pasti aku sudah berterima kasih dan meminta maaf sebanyak-banyaknya. 


 Terima kasih, Guru. Engkau adalah pahlawanku. batinku seraya memandang langit.


Share: