Iblis pun Tersaingi

Berita terpanas hari ini pun lagi-lagi tentang Dekrit Perburuan Penyihir.

Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Maud menilik, jadwal ‘eksekusi penyihir’ tak kunjung pernah absen dari papan buletin. Para redaktur pers itu kerap kali membingkainya seolah sebuah pameran seni yang elit.

Saksikanlah!! Pameran Penyapubersihan Penyihir Terhebat Sepanjang Masa! pada hari Kamis di Amfiteater Gietblij!

Maud menggelengkan kepala atas setiap kalimat yang dibacanya.

Manusia-manusia bodoh itu bahkan rela membuang-buang harta benda yang dimilikinya hanya untuk menonton ‘pertunjukan’ ini.

Amfiteater Gietblij sudah bukan lagi tempatnya menyaksikan pertunjukan kesenian. Hobi paling biadab yang bisa pernah melekat pada diri seorang manusia.

Kain sutra, hewan ternak, hasil panen, perunggu, perak, emas, bahkan batu-batu mulia.

Semua.

Kesempatan emas bagi para calo tiket yang membandrol harga tak masuk akal untuk tiap bangku tribunenya.

“Melihat-lihat buletin lagi?”

Maud melonjak kaget karena teguran mendadak itu. Ia melirik apa yang ada di sampingnya. Ternyata hanya kawannya yang sok dingin. “Oh, hm. Hai, Kees,” sapa Maud dengan canggung.

Mata Maud melirik ke sekitar, kemudian menemukan sosok rambut hitam di antara keramaian yang kehadirannya mencolok bak matahari. “Oh, Pieter!” lantas membalas lambaian tangan pemuda bersurai hitam itu.

“Maud!” serunya, lalu berlari menghampiri Maud dan Kees. “Bagaimana? Sudah siap?”

“Ya … sudah,” jawab Maud. “tapi, Piet, kau tahu jelas apa yang sedang kau lakukan, ‘kan?”

“Oooh, tenang saja!” balas Pieter dengan antusias.

Pieter berdeham. Kemudian ia kembali berkata, “Saat ini pasukan Prajurit Suci dan Prajurit Kerajaan sedang asyik mengejar-ngejar penyihir. Penipuan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, korupsi … selain masalah penyihir itu, semua luput dari perhatian mereka.”

Kees mengangguk. “Mereka terlalu sibuk mengada-adakan sesuatu yang tidak masuk di akal.”

“Yap. Jangan terlalu khawatir, Memang apa kaitannya sekelompok muda-mudi pengagum keindahan alam dengan penyihir dan kontrak iblis?” kelakar Pieter.

“Bahasamu menggelikan, Piet,” cibir Kees.

Pieter menggaruk tengkuk sambil meringis. “Eh? Ehehehehehehe.”

“Lekaslah. Ilse pasti sudah bosan menunggu,” tutur Kees.

Kendati segala bujuk rayu dari dua teman akrabnya itu, Maud masih mengernyitkan keningnya. Entah mengapa, rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal, jauh di dalam hati Maud.

Meski begitu, tetap melangkahkan kaki menuju destinasi awal. Sabana Nieuwhopen.

. . .

“Apa? Tapi, teman-temanku ….”

Pada akhirnya … beginilah caraku mati.

Memalukan sekali.

“Woah! Tepat kena jantung, Jan! Kau pasti bakal dapat imbalan yang cukup besar dari Paduka Raja!”

“Wanita itu mudah sekali matinya. Sial, padahal lumayan kalau ia dibakar hidup-hidup seperti penyihir lainnya. Pasti banyak orang yang akan datang ke Balai untuk menyaksikan.”

“Hey, jaga mulutmu ….”

“Kenapa? Aku tak melihat keperluan kita mengasihani pendosa rendahan sepertinya.”

Pendosa.

Sebuah label terburuk untuk dicap kepada seorang manusia.

Share: